Entri yang Diunggulkan

MEMAHAMI PUISI SECARA CEPAT

bila kita hendak memahami puisi dengan cepat berikut elemen utama yang perlu diperhatikan. 1. tema puisi 2. Rasa 3. Kata Kongkrit 4.Ejam...

Kamis, 05 Juni 2014

FENOMENA PERUBAHAN FONETIK PEMBENTUK DIALEK BAHASA DESA RANTAUSULI KECAMATAN SUNGAI TENANG MERANGIN Wiko Antoni S.Sn.,M.Pd


1.   Pendahuluan
Komunikator  dan komunikan adalah satu kesatuan konvensi simbolik dalam komunikasi. Komunikator menyampaikan symbol-simbol yang diterima komunikan sebagai susunan pesan dengan makna yang difahami bersama. Dalam  komunikasi lisan Fonetik adalah symbol-simbol yang digunakan dalam susunan rumit untuk media komunikasi yang disebut bahasa lisan. Dalam bahasa tulis, fonetik dilambangkan dengan huruf-huruf yang diugestikan kepada pembaca dalam bentu kesepakatan bersama yang hanya berbunyi secara abstraktif. Saat seseorang membaca maka susunan fonetik itu berbunyi dalam hatinya saja yang secara konseptual menjadi susunan fonem membentuk kata, susunan kata membentuk kalimat dan seterusnya.
Konvensi fonetik yang berbeda di suatu tempat dengan tempat lain membuat terjadinya keragaman bahasa. Konvensi bunyi yang disepaati maknanya d sebuah tempat belum tentu mempunyai makna ditempat yang lain, ada pula konvensi fonetik yang bermakna di sebuah tempat memilik makna berbeda dengan tempat lain misalnya kata padang di Sumatera Barat diartikan sebuah tempat yang luas, sementara dalam bahasa Jambi padang adalah lokasi banyaknya terdapat tumbuhan tertentu misalnya padang durian (tempat banyaknya tanaman durian) sementara dalam bahasa Jawa padang diartikan dengan terang. Contoh lain adalah rantau yang dalam bahasa Jambi adalah hamparan sedangkan dalam bahasa Minang adalah tempat seseorang hidup iluar kampung halamannya. Sementara kata gedang dalam bahasa Merangin berarti besar sedangkan dalam bahasa Jawa gdang diartikan sebagai pisang.
Persoalan fonetik memang berkait dengan kesepaatan sebuah tempat, diwilayah yang memiliki rumpun bahasa sama saja kesepakatan penyampaian symbol bunyi ini juga berbeda-beda. Masyarakat Minangkabau saja memiliki demikian banyak ragam konvensi fonetik baik perubahan vocal dan konsonan dengan makna sama bahkan sampai kepada pemotogan fonem. Sebagai contoh kata caliak (lihat) berubah pengucapannya di Pesisir Selatan dengan kata liek.kata bareh (beras) di daerah Lintau menjadi boreh/bogheh  sementara kata kamari (kesini) di Pariaman menjadi kama-i.
Pemotongan fonem bila menjadi fenomena kesepakatan lokal dalam berbahasa. Di Sumatera Barat kata alah (sudah) bisaa diucapkan lah dengan demikian parole (a) menjadi hilang padahal artinya sama sekali tidak berubah. Di daerah Merangin kata sauman (mirip) bisa saja diucapkan dengan suman sehingga parole (a) pada  kata s(a)uman menjadi hilang. Pada Bahasa Jawa justeru ada kata-kata yang merubah fonetik secara ekstrim misalnya kata ora (tidak) menjadi gak bahkan kata ora bisa pula berubah makna menjadi “bukan” sesuai konteks bicaranya, sebagai contoh adalah sebagai berikut,
a.       Ora koyo ngono Cah (bukan seperti itu nak)
b.     Kowe iki ora genah (kamu ini tidak beres)
Dari contoh id atas jelas kata ora pada kalimat a diartikan sebagai  bukan ora koyo ngono maka antoniminya adalah sing bener koyo ngene (yang benar seperti ini). Sedangkan pada kalimat b kata ora berarti tidak karena mana mungkin ia dimaknai sebagai “kamu bukan beres”  yang benar adalah pernyataan  bahwa seseorang tidak berperilaku tidak benar disebut ora genah yang dibahasakan dengan siktaks kowe iki ora genah. Keragaman konvensi fonetik ini dimasukkan kedalam sosiolinguistik yang merupakan kajian bahasa terkait kelompok penganut kesepakatan sosial tertentu.
Di daerah Merangin fenomena perubahan fonetik ini juga terjadi, didaerah Tabir Hulu kata kamu dibahasakan dengan wo ang/ang demikian pula daerah Perentak-Sungai Manau. Didaerah Tabir kata kamu disebut dengan kawan, sementara Limbur Merangin kwan. Kata saya dibahasakan dengan  den didaerah Tabir Hulu, aku didaerah  Rantaupanjang, mbo di daerah Koto Rayo dan wak didaerah Limbur Merangin.
Di daerah Sungai Tenang, ada fenomena bahasa yang menarik yakni fenomena pemotongan fonetik dan perubahan konsonan. Pemotongan ini terjadi pada fonem-fonem awal kata dari seorang penutur pada situasi tertentu. Situasi ini misalnya saat berujar dengan semangat atau berujar dalam keadaan terburu-buru. Perubahan ini misalnya kata jalan jadi jalat yang bisa saja terpotong menjadi  jlat atau hanya lat. Kata licin menjadi liciet bahkan cit.
Keragaman konvensi fonetik adalah kekayaan berbahasa yang memerlukan perhatian, perhatian ini selain berupa upaya memberikan penghargaan kapada bahasa daerah sebagai bahasa ibu juga mesti dilakukan dengan pendekatan analisis ilmiah, tulisan ini adalah usaha melakukan analisis terhadap fenomena pemotongan  dan perubahan fonetik yang menjadi konvensi  di daerah Rantauuli kecamatan Sungaitenang kabupaten Merangin.
2. Kerangka Teori
2.1.   dialek
Linda dan Reniwati (2009:1) menjelaskan dialek sebagai ragam pengucapan tanpa merubah makana, yang diambil dari istilah Yunani dialect. Keragaman pengucapan ini akhirnya mengakibatkan perbedaan bunyi yang dimaksudkan tanpa merubah arti dari kata yang diucapkan. Pebedaan pengucapan ini akhirnya menjadi indentitas kelompok masyarakat tertentu sebagai contoh fenomena pengucapan fonem e pada kata serakah. Orang Padang akan panjang parole (e) sementara orang Jawa akan terdengar sangat ringan. Jadi ee dengan pengucapan tebal akan terdengar berbeda dengan e dengan pengucapan yang tipis.” S(e)rakah kamu ini”. Atau kamu ini “s(ee)rakah kamu ini.”
Fenomena ini tidak hanya berlaku pada fonem saja pada saat-saat tertentu kata kerap berganti dalam sebuah kalimat walaupun tujuan sama, seperti kata “kamu” yang sering berubah menjadi “kau” yang disebabkan oleh struktur budaya pengucap. Sebagai contoh kalimat ini:
a.       Kau tak bisa semacam itu.
b.      Jangan gitu lah kamu-nya.
Dapat dilihat kedua contoh kalimat diatas memiliki maksud yang sama yakni sebuah kekecewaan akan sikap lawan bicara yang dituturkan pengucap. Maksudnya perbuatan lawan bicaranya tidak layak dan pantas dilakukan. Perbedaan pola kalimat ini disebabkan struktur kalimat yang dimiliki bahasa yang melatari pengucap kalimat tersebut.
Kalimat a diucap oleh orang Merangin dengan  kalimat dasar kawan dak biso macam tu! Selanjutnya kalimat kedua diucapkan orang Jawa dengan kaliamat yang melatarinya ojo ngono kowe ne!. dengan demikian latar budaya akan merubah sintaks pengucap dalam menuturkan kalimat.
2.2.   Fonem
fonem adalah struktur terkecil dari symbol bahasa, menurut  Chaer  fonetik adalah bidang linguistik  yang mepelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan  apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi pembeda makna atau tidak. (2007:103).  Dengan demikian fonem adalah lambang yang  baik itu bermakna atau tidak. Lambang bunyi apabila sudah tertulis maka ia dialambangkan dengan huruf semisal yang sangat popular a-z yang merupakan perlambangan bunyi pada struktur huruf latin dan alif hingga yaa pada huruf arab.
2.3.   Konvensi  Fonetik dan Perubahan Fonem
Pada  siuasi tertentu pengucapan fonem bisa saja berubah atau dipersingkat, dalam linguistik hal ini dapat diurai sebagai fenomena berikut,
2.3.1.   .Assimilasi dan dissimilasi
Assimilasi adalah perubahan fonem menjadi bunyi lain karena ada bunyi yang ada dilingkungannya sehingga bunyi tersebut menjadi sama dengan bunyi yang ada dilingkungannya. Sebagai contoh kata dholim dalam bahasa Indonesia diucapkan dengan Zalim. Sehingga parole (d), (h), dan o berubah menjadi (z) dan (a) fonem dho.. menjadi Za… apabila perubahan fonem ini menyebabkan dua bunyi yang berbeda menjadi sama maka ini disebut dissimilasi misalnya kata sayang dan tayang yang fonem (s) pada sayang dan (t) pada tayang diganti menjadi (b) yang kemudian menghasilkan kata bayang.
2.3.2.      Netralisasi dan Arkifonem
Netralisasi adalah pelafalan fonetik yang sama dalam kata-kata dengan makna berbeda karena kata tersebut masing-masing memiliki sambungan berbeda secara asal, sehingga pembentuk makna keduanya sebenarnya adalah berbeda, orang Belanda bisaa melafalkan Hart dan Hard dengan bunyi yang tak jauh berbeda, Hart memiliki hibungan dengan ..en shingga bentuk dasarnya adalah harten yang berarti banyak jantung sedangkan hard memiliki sambungan  ..er atau Harder yang artinya lebih keras. Parole (t) pada hart dan (d) pada hard dinamakan sebagai akrofonem yakni fonetik yang menjadi pembeda makna dari sebuah kata yang terdengar mirip.
2.3.3.Umlaut, Ablaut dan Harmoni Vokal
Umlaut adalah fonetik yang sama dengan penekanan lebih tinggi, dalam hal ini agar lebih mudah kita gunakan saja tangga nada sebagai ukuran. Tangga nada memiliki ukuran do-re-mi- fa-sol-la –si-do dan seterusnya. Bila kita melafalkan u pada nada do maka secara substansi emosional makna u yang diucapkan dengan nada sol akan berbeda maknanya. Chaer mencontohkan pelafalan (a) dalam bahasa Belanda pada kata hanfie yang dianggap lebih tinggi kualitasnya pada kata hand.
Ablaut, adalah perubahan bunyi yang mengacu kepada perubahan gramatikal sebagai contoh House (rumah) menjadi Houses (rumah-rumah), River menjadi Rivers dan sebagainya.
Harmoni vocal adalah perubahan gramatikal secara selaras yang menyebabkan kesatuan bunyi yang harmonis antara kata dasarnya dengan model gramatiknya, Chaer mengambil contoh dari bahasa Turki kata Oda (kamar) yang berubah menjadi odalar (kamar-kamar).
2.3.4.    Kontraksi
Kontraksi adalah pemendekan, penyingkatan atau penghilangan sebagian bunyi dalam situasi  berbicara dengan cepat atau sebab lainya, misalnya did not menjadi did`nt, dalam bahasa Indonesia misalnya memang menjadi emang, dalam bahasa Merangin misalanya apo halnyo  jadi po hol, dan sebagainya.
2.3.5.      Metatesis dan Epentesis
Metatesis  adalah fenomena perubahan urutan fonem dalam kata misalnya jalur menjadi lajur. Epentesis adalah terselipnya fonem tertentu kedalam kata tanpa merubah maksudnya misal kata  kapak menjadi kampak. Atau supit menjadi sumpit.

3.   Fenomena Perubahan  Fonetik Kata-Kata dalam Bahasa Rantausuli
Berdasarkan fakta yang diperoleh setelah pengamatan dilapangan, di daerah Rantau Suli ditemukan tiga varian fenomena perubahan fonetik yakni assimilasi, kontraksi dan epentesis,

3.1.                         Perubahan fonetik pelafalan (assimilasi)
Perubahan pelafalan/assimilasi disebabkan konvensi lokal yang meleburkan fonetik kedalam perlambangan bunyi berbeda dengan kata asalnya hal ini terjadi dalam lingkungan tertentu dan hanya disepakati didaerah tersebut, di Rantausuli hal ini ditemukan dalam beberapa kata berbahasa Merangin  yang telah berubah bunyinya, kata-kata tersebut antara lain:
3.1.1.      Kawan =kuwan=Kuwat (kamu Laki-laki)
Kata kawan dalam bahasa Merangin berarti kamu, dalam dialek Rantausuli kawan tetap sama artinya dengan bahasa Merangin secara umum hanya saja pengucapan kata kawan kerap mengalami perubahan menjadi kuwan, kuwat  hingga kwat. Perubahan parole (a) menjadi (u) dan (n) menjadi( t) bukanlah sesuatu yang membuat perubahan makna.
3.1.2.      Ujan =Ujat (hujan)
Kata  ujan yang artinya hujan dalam bahasa Merangin pada bahasa jangkat berubah bunyinya jadi ujat. Perubahan ini terdapat pada bergantinya parole (n) menjadi (t)
3.1.3.      Marah=maghonh
Dalam dialek Rantausuli kata “marah” bisa berubah menjadi maghonh kata ini selain mengalami pengurangan parole sekaligus mengalami penambahan sehingga menjadi jauh sekali dari kata dasarnya padahal dari segi makna sama sekali tiada perubahan.  Parole yang berkurang adalah (r),(a), dan (h) sedangkan parole yang bertambah adalah (g), (h),(n) dan (h). pengucapan kata marah bisaanya lebih akarap dengan maghah atau mahah namun substansi awalnya tetaplah marah yang dalam bahasa umum di Merangin dibahasan dengan mahah. Secara jelas konteks penggunaan kata ini adalah sebagai berikut,
a.                   Mak maghah dak (jangan marah ya!)
b.                  Mak maghon lah  (jangan langsung marah!)
c.                   Kwat mak mahah dak (kamu janga marah ya)
d.                  Mak marah be (mau marah saja).
Secara umum perubahan fonetik kata marah pada kalimat-kaliamat diatas sama sekali tak merubah makna kata. Marah yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai emosi tidak senang yang menyipam keinginan agresif ini tetap pada substansi maknanya hanya saja pengucapan yang menjadi berbeda tersebut terkait pada konteks penutur menghadapi emosional lawan bicaranya.
Pada kalimart a penutur ingin lawan bicaranya tidak terpancing kemarahannya artinya lawan bicaranya belum tentu dalam keadaan marah. Kalmat b menyatakan bahwa penutur menyadari bahwa lawan bicaranya sudah dalam keadaan marah. Sehingga ia berusaha mengajak lawan bicaranya untuk bersabar. Kalimat c menyatakan emosi yang sama dengan kalimat a yakni ajakan untuk bersabar oleh penutur pada lawan bicaranya terkait hal-hal yang mungkin akan menyulut kemarahannya sementara pada kalimat d digambarkan bahwa penutur memang sudah berhadapan dengan kemarahan lawan bicaranya sehingga ia mengucapkan kalimat protes terhadap situasi tersebut.
3.1.4.      Kucing = kuc(heig)
Kucing di Rantausuli kerap terdengar diucapkan dengan kucheig kata kucing dengan makna seekor hewan mirip harimau kecil yang jinak dan lucu ini sama sekali tidak berbeda dengan “kucing” dalam bahasa Indonesia, pada kata kucing terjadi penambahan dan pengurangan konsonan sekaligus yakni  penambahan parole (h), (e), dan (i). sedangkan pengurangan parole adalah (n).
3.1.5.      Anjing =Anj(e)ig
Anjing dalam bahasa Rantausuli sama saja dengan makna kata “anjing” yang kita kenal. Kenyataannya dalam pengucapan kata “anjing” tidak terdengar lagi sebagai “anjing” tapi telah menjadi anejig pengucapan ini sama sekali tak merubah makna kata dasarnya padahal parole (e) telah terselip dalam kata tersebut.  parole (n) telah menghilang sedangkan parole (i) sudah berubah posisi.
3.1.6.      Gedang=gdea
Kata gedang dalam bahasa Merangin adalah besar sedangkan dalam dialek Rantausuli kerap digunakan kata gedang tapi lebih sering diucapkan dengan gdea dalam hal ini terjadi pengurangan parole (e),(a), (n) dan (g) sementara penambahan parole adalah (a).
3.1.7.      Hari=( aghi )
Kata hari dalam dialek Rantausuli mengalami perubahan fonem dengan pengurangan dan penambahan fonetik. Parole (a) berubah posisinya pada awal kata sementara (i) tetap berada di ujung kata. Parole (h) pindah pada urutan ketiga setelah sebelumnya berada diurutan pertama sedangkan parole (r)  menjadi hilag dan parole (g) muncul pada urutan ketiga dalam susunan fonetik.

3.2.Fenomena Pemotongan fonem (kontraksi)
3.2.1.      Makan = kat
Kata “makan”, dalam bahasa Rantausuli tidaklah berbeda dengan bahasa Melayu umumnya. “Makan” tetaplah dibahasakan dengan makan namun pada situasi tertentu kata “makan” bisa saja diucapkan hanya dengan “kat” saja. Kata “kat” diucapkan dalam situasi tertentu misalnya daam kalimat “nak kat?” (mau makan?) atau “yuh kat!” (mari makan). Padahal pada situasi lain bisa saja penutur mengucapkan “yuh kito makan” (ayo kita makan!).  perubahan dari makan menjadi kat sama sekali tidak merubah makna padahal sudah ada perubahan parole (n) menjadi (t) yang kemudian justru hilang sama sekali yakni makan-makat-(ma)kat=kat.
3.2.2.      Jalan=jlat
Kata jalan dalam bahasa Rantausuli tidak berbeda dengan bahasa Melayu lain baik dari pelafalan hingga makna. Hanya saja, seperti fenomena umum terjadi pada pemotongan fonem maka kata jalanpun mengalami perubahan fonetik yang signifikan. Kalimat “licin jalan ya.” Menjadi licit jlat yo” kemudian menjadi cit jlat yo.
3.2.3.      Tembesi=(mbesi)
Tembesi adalah nama Sungai yang ada membelah desa Rantausuli, nama sungai tersebut adalah Batang Tembesi tapi masyarakat kerap menyebutnya Tong Mesi atau tongh mbesi.
3.3.4.      Licin=cit
Kata licin pada dasarnya dalam keadaan normal bisaa dituturkan dengan licin tanpa perubahan lafal dan makna namun pada waktu-waktu tertentu penutur bisaa merubah menjadi cit saja artinya ada dua parole yang hilang yakni (l) dan (i). hilangnya dua parole ini sama sekali tidak merubah makna seperti kalimat licin nian jalan menjadi cit nyan jlat. Perubahan . dan penghilangan parole sama sekali tidak merubah makna yang dihasilkan kalimat.
3.3.    Penambahan Parole (epentesis)
Selanjutnya fenomena penambahan konsonan yang tidak merubah makna. Dalam dialek Rantausuli fenomena demikian dapat pula ditemui dalam beberapa kasus misalnya sebagai berikut,
3.3.1.      Tadi =tadi(n)
Kata tadi dalam maknanya sama dengan kata tadi dalam bahasa Indonesia yakni waktu beberapa saat yang lalu. Dalam dialek Rantausuli kata tadi bisa saja berubah menjadi tadin tanpa sama sekali merubah maknanya.


3.3.2.      Tung=Tung(h)
Kata tung yang artinya bibi bias saja terucap menjadi tungh. Penambahan fonem (h) ini terjadi pada konteks penegasan ucapan. Seperti kalimat dialog dibawah ini,
A    : Sapo kanti kwat tadin?
B    :Tung.
A    :Tungh?
B    :Tung nyan!
Artinya adalah sebagai berikut,
A   : Siapa teman kamu (laki-laki) tadi?
B    : Bibi.
A   : Bibi? (dengan penekanan)
B    : Memang bibi.
4.   Penutup
Berdasarkan analisis dialektika bahasa daerah Rantau Suli ditemukan tiga  indikasi perubahan fonetik yang dalam linguistik disebut dengan assimilasi, kontraksi dan epentesis. Proses fonetik ini membuat bahasa daerah Rantau Suli (umumnya Jangkat-Sungai Tenang) menjadi bentuk bahasa sendiri yang memiliki ciri khusus didaerah merangin. Proses ini pula yang mengakibatkan bahasa Rantau Suli dilafazkan dengan dialek berbeda oleh masyarakatnya dengan dialek yang umum digunakan oleh masyarakat Merangin.
 Secara umum perubahan bentuk kata yang terjadi dalam kata-kata berbahasa Rantausuli merupakan perlaihan pengucapan kata-kata berahasa Merangin. Kata-kata dasar yang menjadi acuan dari kata-kata yang berubah pengucapannya itu merupakan transformasi dialektikal yang beranjak dari modifikasi kata-kata berbahasa Melayu Jambi. Masih belum jelas apakah bahasa Merangin yang berasal dari dialek ini atau justeru bahasa Rantausuli ini merupakan adaptasi terhadap bahasa Merangin dimana (kemungkinan) bahasa daerah tersebut bukanlah sperti yang kita kenali sekarang.
Sebagai pertimbangan terhadap fenomena ini sebaiknya dilakukan penelitian historifikasi linguistic karena saat sebuah data yang sangat berharga berkaitan dengan bahasa Melayu sudah didapat yakni kitab Undang-Undang Tanjung yang menggunakan bahasa Melayu tua.  Kitab ini dapat dijadikan skrip pendukung yang sangat kuat berkaitan dengan proses perkembangan bahasa-bahasa orang Melayu dari dulu hingga saat ini. Semoga saja kajian sederhana ini bermanfaat bagi dunia keilmuan.


Kepustakaan
Chaer, Abdul, Linguistik Umum, Rineka Cipta Jakarta, 2007
Nandra dan Reniwati, Dialektologi, Teori dan Metode, Elmatera Publishing, Yogyakarta, 2009