1.
Pendahuluan
Komunikator dan komunikan adalah satu kesatuan konvensi
simbolik dalam komunikasi. Komunikator menyampaikan symbol-simbol yang diterima
komunikan sebagai susunan pesan dengan makna yang difahami bersama. Dalam komunikasi lisan Fonetik adalah symbol-simbol
yang digunakan dalam susunan rumit untuk media komunikasi yang disebut bahasa
lisan. Dalam bahasa tulis, fonetik dilambangkan dengan huruf-huruf yang
diugestikan kepada pembaca dalam bentu kesepakatan bersama yang hanya berbunyi
secara abstraktif. Saat seseorang membaca maka susunan fonetik itu berbunyi
dalam hatinya saja yang secara konseptual menjadi susunan fonem membentuk kata,
susunan kata membentuk kalimat dan seterusnya.
Konvensi fonetik yang berbeda di
suatu tempat dengan tempat lain membuat terjadinya keragaman bahasa. Konvensi
bunyi yang disepaati maknanya d sebuah tempat belum tentu mempunyai makna ditempat
yang lain, ada pula konvensi fonetik yang bermakna di sebuah tempat memilik
makna berbeda dengan tempat lain misalnya kata padang di Sumatera Barat diartikan sebuah tempat yang luas,
sementara dalam bahasa Jambi padang adalah
lokasi banyaknya terdapat tumbuhan tertentu misalnya padang durian (tempat banyaknya tanaman durian) sementara dalam
bahasa Jawa padang diartikan dengan
terang. Contoh lain adalah rantau yang
dalam bahasa Jambi adalah hamparan sedangkan dalam bahasa Minang adalah tempat seseorang
hidup iluar kampung halamannya. Sementara kata gedang dalam bahasa Merangin berarti besar sedangkan dalam bahasa
Jawa gdang diartikan sebagai pisang.
Persoalan fonetik memang berkait
dengan kesepaatan sebuah tempat, diwilayah yang memiliki rumpun bahasa sama
saja kesepakatan penyampaian symbol bunyi ini juga berbeda-beda. Masyarakat
Minangkabau saja memiliki demikian banyak ragam konvensi fonetik baik perubahan
vocal dan konsonan dengan makna sama bahkan sampai kepada pemotogan fonem.
Sebagai contoh kata caliak (lihat)
berubah pengucapannya di Pesisir Selatan dengan kata liek.kata bareh (beras)
di daerah Lintau menjadi boreh/bogheh sementara kata kamari (kesini) di Pariaman menjadi kama-i.
Pemotongan fonem bila menjadi
fenomena kesepakatan lokal dalam berbahasa. Di Sumatera Barat kata alah (sudah) bisaa diucapkan lah dengan demikian parole (a) menjadi
hilang padahal artinya sama sekali tidak berubah. Di daerah Merangin kata sauman (mirip) bisa saja diucapkan
dengan suman sehingga parole (a)
pada kata s(a)uman menjadi hilang. Pada Bahasa Jawa justeru ada kata-kata
yang merubah fonetik secara ekstrim misalnya kata ora (tidak) menjadi gak bahkan
kata ora bisa pula berubah makna
menjadi “bukan” sesuai konteks bicaranya, sebagai contoh adalah sebagai
berikut,
a. Ora koyo ngono Cah (bukan seperti
itu nak)
b.
Kowe iki ora genah (kamu ini tidak beres)
Dari contoh id atas jelas kata
ora pada kalimat a diartikan sebagai
bukan ora koyo ngono maka
antoniminya adalah sing bener koyo ngene (yang
benar seperti ini). Sedangkan pada kalimat b kata ora berarti tidak karena mana mungkin ia dimaknai sebagai “kamu bukan beres” yang benar adalah pernyataan bahwa seseorang tidak berperilaku tidak benar
disebut ora genah yang dibahasakan
dengan siktaks kowe iki ora genah. Keragaman
konvensi fonetik ini dimasukkan kedalam sosiolinguistik yang merupakan kajian
bahasa terkait kelompok penganut kesepakatan sosial tertentu.
Di daerah Merangin fenomena
perubahan fonetik ini juga terjadi, didaerah Tabir Hulu kata kamu dibahasakan
dengan wo ang/ang demikian pula
daerah Perentak-Sungai Manau. Didaerah Tabir kata kamu disebut dengan kawan, sementara Limbur Merangin kwan. Kata saya dibahasakan dengan den didaerah
Tabir Hulu, aku didaerah Rantaupanjang, mbo di daerah Koto Rayo dan wak
didaerah Limbur Merangin.
Di daerah Sungai Tenang, ada
fenomena bahasa yang menarik yakni fenomena pemotongan fonetik dan perubahan
konsonan. Pemotongan ini terjadi pada fonem-fonem awal kata dari seorang
penutur pada situasi tertentu. Situasi ini misalnya saat berujar dengan
semangat atau berujar dalam keadaan terburu-buru. Perubahan ini misalnya kata
jalan jadi jalat yang bisa saja
terpotong menjadi jlat atau hanya lat. Kata
licin menjadi liciet bahkan cit.
Keragaman konvensi fonetik adalah
kekayaan berbahasa yang memerlukan perhatian, perhatian ini selain berupa upaya
memberikan penghargaan kapada bahasa daerah sebagai bahasa ibu juga mesti
dilakukan dengan pendekatan analisis ilmiah, tulisan ini adalah usaha melakukan
analisis terhadap fenomena pemotongan
dan perubahan fonetik yang menjadi konvensi di daerah Rantauuli kecamatan Sungaitenang
kabupaten Merangin.
2. Kerangka Teori
2.1.
dialek
Linda
dan Reniwati (2009:1) menjelaskan dialek sebagai ragam pengucapan tanpa merubah
makana, yang diambil dari istilah Yunani dialect.
Keragaman pengucapan ini akhirnya mengakibatkan perbedaan bunyi yang
dimaksudkan tanpa merubah arti dari kata yang diucapkan. Pebedaan pengucapan
ini akhirnya menjadi indentitas kelompok masyarakat tertentu sebagai contoh
fenomena pengucapan fonem e pada kata serakah. Orang Padang akan panjang parole
(e) sementara orang Jawa akan terdengar sangat ringan. Jadi ee dengan
pengucapan tebal akan terdengar berbeda dengan e dengan pengucapan yang tipis.”
S(e)rakah kamu ini”. Atau kamu ini “s(ee)rakah kamu ini.”
Fenomena
ini tidak hanya berlaku pada fonem saja pada saat-saat tertentu kata kerap
berganti dalam sebuah kalimat walaupun tujuan sama, seperti kata “kamu” yang
sering berubah menjadi “kau” yang disebabkan oleh struktur budaya pengucap.
Sebagai contoh kalimat ini:
a.
Kau
tak bisa semacam itu.
b.
Jangan
gitu lah kamu-nya.
Dapat dilihat kedua contoh
kalimat diatas memiliki maksud yang sama yakni sebuah kekecewaan akan sikap
lawan bicara yang dituturkan pengucap. Maksudnya perbuatan lawan bicaranya tidak layak dan pantas dilakukan. Perbedaan
pola kalimat ini disebabkan struktur kalimat yang dimiliki bahasa yang melatari
pengucap kalimat tersebut.
Kalimat a diucap oleh orang
Merangin dengan kalimat dasar kawan dak biso macam tu! Selanjutnya
kalimat kedua diucapkan orang Jawa dengan kaliamat yang melatarinya ojo ngono kowe ne!. dengan demikian latar
budaya akan merubah sintaks pengucap dalam menuturkan kalimat.
2.2. Fonem
fonem
adalah struktur terkecil dari symbol bahasa, menurut Chaer
fonetik adalah bidang linguistik
yang mepelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi
pembeda makna atau tidak. (2007:103).
Dengan demikian fonem adalah lambang yang baik itu bermakna atau tidak. Lambang bunyi apabila
sudah tertulis maka ia dialambangkan dengan huruf semisal yang sangat popular
a-z yang merupakan perlambangan bunyi pada struktur huruf latin dan alif hingga
yaa pada huruf arab.
2.3.
Konvensi Fonetik dan Perubahan Fonem
Pada siuasi tertentu pengucapan fonem bisa saja
berubah atau dipersingkat, dalam linguistik hal ini dapat diurai sebagai
fenomena berikut,
2.3.1. .Assimilasi
dan dissimilasi
Assimilasi
adalah perubahan fonem menjadi bunyi lain karena ada bunyi yang ada
dilingkungannya sehingga bunyi tersebut menjadi sama dengan bunyi yang ada
dilingkungannya. Sebagai contoh kata dholim dalam bahasa Indonesia diucapkan
dengan Zalim. Sehingga parole (d), (h), dan o berubah menjadi (z) dan (a) fonem
dho.. menjadi Za… apabila perubahan fonem ini menyebabkan dua bunyi yang berbeda
menjadi sama maka ini disebut dissimilasi
misalnya kata sayang dan tayang yang fonem (s) pada sayang dan (t) pada
tayang diganti menjadi (b) yang kemudian menghasilkan kata bayang.
2.3.2. Netralisasi
dan Arkifonem
Netralisasi
adalah pelafalan fonetik yang sama dalam kata-kata dengan makna berbeda karena
kata tersebut masing-masing memiliki sambungan berbeda secara asal, sehingga pembentuk
makna keduanya sebenarnya adalah berbeda, orang Belanda bisaa melafalkan Hart
dan Hard dengan bunyi yang tak jauh berbeda, Hart memiliki hibungan dengan ..en
shingga bentuk dasarnya adalah harten yang
berarti banyak jantung sedangkan hard memiliki sambungan ..er atau Harder
yang artinya lebih keras. Parole (t) pada hart
dan (d) pada hard dinamakan
sebagai akrofonem yakni fonetik yang menjadi pembeda makna dari sebuah kata
yang terdengar mirip.
2.3.3.Umlaut, Ablaut dan
Harmoni Vokal
Umlaut
adalah fonetik yang sama dengan penekanan lebih tinggi, dalam hal ini agar
lebih mudah kita gunakan saja tangga nada sebagai ukuran. Tangga nada memiliki
ukuran do-re-mi- fa-sol-la –si-do dan seterusnya. Bila kita melafalkan u pada
nada do maka secara substansi emosional makna u yang diucapkan dengan nada sol
akan berbeda maknanya. Chaer mencontohkan pelafalan (a) dalam bahasa Belanda
pada kata hanfie yang dianggap lebih
tinggi kualitasnya pada kata hand.
Ablaut,
adalah perubahan bunyi yang mengacu kepada perubahan gramatikal sebagai contoh House (rumah) menjadi Houses (rumah-rumah),
River menjadi Rivers dan
sebagainya.
Harmoni
vocal adalah perubahan gramatikal secara selaras yang menyebabkan kesatuan
bunyi yang harmonis antara kata dasarnya dengan model gramatiknya, Chaer
mengambil contoh dari bahasa Turki kata Oda
(kamar) yang berubah menjadi odalar (kamar-kamar).
2.3.4.
Kontraksi
Kontraksi
adalah pemendekan, penyingkatan atau penghilangan sebagian bunyi dalam
situasi berbicara dengan cepat atau
sebab lainya, misalnya did not menjadi
did`nt, dalam bahasa Indonesia
misalnya memang menjadi emang, dalam
bahasa Merangin misalanya apo halnyo jadi po hol, dan sebagainya.
2.3.5.
Metatesis dan Epentesis
Metatesis adalah fenomena perubahan urutan fonem dalam
kata misalnya jalur menjadi lajur. Epentesis adalah terselipnya
fonem tertentu kedalam kata tanpa merubah maksudnya misal kata kapak menjadi
kampak. Atau supit menjadi sumpit.
3.
Fenomena Perubahan Fonetik Kata-Kata dalam Bahasa Rantausuli
Berdasarkan fakta yang diperoleh
setelah pengamatan dilapangan, di daerah Rantau Suli ditemukan tiga varian
fenomena perubahan fonetik yakni assimilasi, kontraksi dan epentesis,
3.1.
Perubahan fonetik pelafalan (assimilasi)
Perubahan pelafalan/assimilasi
disebabkan konvensi lokal yang meleburkan fonetik kedalam perlambangan bunyi
berbeda dengan kata asalnya hal ini terjadi dalam lingkungan tertentu dan hanya
disepakati didaerah tersebut, di Rantausuli hal ini ditemukan dalam beberapa
kata berbahasa Merangin yang telah
berubah bunyinya, kata-kata tersebut antara lain:
3.1.1. Kawan
=kuwan=Kuwat (kamu Laki-laki)
Kata
kawan dalam bahasa Merangin berarti kamu, dalam dialek Rantausuli kawan tetap sama artinya dengan bahasa
Merangin secara umum hanya saja pengucapan kata kawan kerap mengalami perubahan menjadi kuwan, kuwat hingga kwat. Perubahan parole (a) menjadi (u)
dan (n) menjadi( t) bukanlah sesuatu yang membuat perubahan makna.
3.1.2. Ujan
=Ujat (hujan)
Kata ujan
yang artinya hujan dalam bahasa Merangin pada bahasa jangkat berubah bunyinya
jadi ujat. Perubahan ini terdapat pada bergantinya parole (n) menjadi (t)
3.1.3. Marah=maghonh
Dalam
dialek Rantausuli kata “marah” bisa berubah menjadi maghonh kata ini selain mengalami pengurangan parole sekaligus
mengalami penambahan sehingga menjadi jauh sekali dari kata dasarnya padahal
dari segi makna sama sekali tiada perubahan.
Parole yang berkurang adalah (r),(a), dan (h) sedangkan parole yang
bertambah adalah (g), (h),(n) dan (h). pengucapan kata marah bisaanya lebih
akarap dengan maghah atau mahah namun substansi awalnya tetaplah
marah yang dalam bahasa umum di Merangin dibahasan dengan mahah. Secara jelas konteks penggunaan kata ini adalah sebagai berikut,
a.
Mak maghah dak (jangan marah ya!)
b.
Mak maghon lah
(jangan langsung marah!)
c.
Kwat mak mahah dak (kamu janga marah ya)
d.
Mak marah be (mau marah saja).
Secara
umum perubahan fonetik kata marah pada
kalimat-kaliamat diatas sama sekali tak merubah makna kata. Marah yang dalam
bahasa Indonesia diartikan sebagai emosi tidak senang yang menyipam keinginan
agresif ini tetap pada substansi maknanya hanya saja pengucapan yang menjadi
berbeda tersebut terkait pada konteks penutur menghadapi emosional lawan
bicaranya.
Pada
kalimart a penutur ingin lawan bicaranya tidak terpancing kemarahannya artinya
lawan bicaranya belum tentu dalam keadaan marah. Kalmat b menyatakan bahwa
penutur menyadari bahwa lawan bicaranya sudah dalam keadaan marah. Sehingga ia
berusaha mengajak lawan bicaranya untuk bersabar. Kalimat c menyatakan emosi
yang sama dengan kalimat a yakni ajakan untuk bersabar oleh penutur pada lawan
bicaranya terkait hal-hal yang mungkin akan menyulut kemarahannya sementara
pada kalimat d digambarkan bahwa penutur memang sudah berhadapan dengan
kemarahan lawan bicaranya sehingga ia mengucapkan kalimat protes terhadap
situasi tersebut.
3.1.4. Kucing
= kuc(heig)
Kucing di Rantausuli kerap
terdengar diucapkan dengan kucheig kata
kucing dengan makna seekor hewan mirip harimau kecil yang jinak dan lucu ini
sama sekali tidak berbeda dengan “kucing” dalam bahasa Indonesia, pada kata
kucing terjadi penambahan dan pengurangan konsonan sekaligus yakni penambahan parole (h), (e), dan (i). sedangkan
pengurangan parole adalah (n).
3.1.5. Anjing
=Anj(e)ig
Anjing
dalam bahasa Rantausuli sama saja dengan makna kata “anjing” yang kita kenal.
Kenyataannya dalam pengucapan kata “anjing” tidak terdengar lagi sebagai
“anjing” tapi telah menjadi anejig
pengucapan ini sama sekali tak merubah makna kata dasarnya padahal parole (e)
telah terselip dalam kata tersebut.
parole (n) telah menghilang sedangkan parole (i) sudah berubah posisi.
3.1.6.
Gedang=gdea
Kata
gedang dalam bahasa Merangin adalah
besar sedangkan dalam dialek Rantausuli kerap digunakan kata gedang tapi lebih
sering diucapkan dengan gdea dalam
hal ini terjadi pengurangan parole (e),(a), (n) dan (g) sementara penambahan
parole adalah (a).
3.1.7. Hari=(
aghi )
Kata
hari dalam dialek Rantausuli mengalami perubahan fonem dengan pengurangan dan
penambahan fonetik. Parole (a) berubah posisinya pada awal kata sementara (i)
tetap berada di ujung kata. Parole (h) pindah pada urutan ketiga setelah
sebelumnya berada diurutan pertama sedangkan parole (r) menjadi hilag dan parole (g) muncul pada
urutan ketiga dalam susunan fonetik.
3.2.Fenomena
Pemotongan fonem (kontraksi)
3.2.1.
Makan = kat
Kata “makan”, dalam bahasa
Rantausuli tidaklah berbeda dengan bahasa Melayu umumnya. “Makan” tetaplah
dibahasakan dengan makan namun pada situasi tertentu kata “makan” bisa saja
diucapkan hanya dengan “kat” saja. Kata “kat” diucapkan dalam situasi tertentu
misalnya daam kalimat “nak kat?” (mau
makan?) atau “yuh kat!” (mari makan).
Padahal pada situasi lain bisa saja penutur mengucapkan “yuh kito makan” (ayo kita makan!).
perubahan dari makan menjadi kat sama sekali tidak merubah makna
padahal sudah ada perubahan parole (n) menjadi (t) yang kemudian justru hilang
sama sekali yakni makan-makat-(ma)kat=kat.
3.2.2. Jalan=jlat
Kata
jalan dalam bahasa Rantausuli tidak berbeda dengan bahasa Melayu lain baik dari
pelafalan hingga makna. Hanya saja, seperti fenomena umum terjadi pada
pemotongan fonem maka kata jalanpun mengalami perubahan fonetik yang
signifikan. Kalimat “licin jalan ya.” Menjadi licit jlat yo” kemudian menjadi cit
jlat yo.
3.2.3. Tembesi=(mbesi)
Tembesi
adalah nama Sungai yang ada membelah desa Rantausuli, nama sungai tersebut
adalah Batang Tembesi tapi masyarakat kerap menyebutnya Tong Mesi atau tongh mbesi.
3.3.4. Licin=cit
Kata
licin pada dasarnya dalam keadaan normal bisaa dituturkan dengan licin tanpa perubahan lafal dan makna
namun pada waktu-waktu tertentu penutur bisaa merubah menjadi cit saja artinya ada dua parole yang
hilang yakni (l) dan (i). hilangnya dua parole ini sama sekali tidak merubah
makna seperti kalimat licin nian jalan menjadi
cit nyan jlat. Perubahan . dan
penghilangan parole sama sekali tidak merubah makna yang dihasilkan kalimat.
3.3. Penambahan Parole (epentesis)
Selanjutnya
fenomena penambahan konsonan yang tidak merubah makna. Dalam dialek Rantausuli
fenomena demikian dapat pula ditemui dalam beberapa kasus misalnya sebagai
berikut,
3.3.1. Tadi
=tadi(n)
Kata
tadi dalam maknanya sama dengan kata tadi dalam bahasa Indonesia yakni waktu
beberapa saat yang lalu. Dalam dialek Rantausuli kata tadi bisa saja berubah
menjadi tadin tanpa sama sekali
merubah maknanya.
3.3.2. Tung=Tung(h)
Kata
tung yang artinya bibi bias saja
terucap menjadi tungh. Penambahan
fonem (h) ini terjadi pada konteks penegasan ucapan. Seperti kalimat dialog
dibawah ini,
A :
Sapo kanti kwat tadin?
B :Tung.
A :Tungh?
B :Tung
nyan!
Artinya
adalah sebagai berikut,
A : Siapa teman kamu (laki-laki) tadi?
B : Bibi.
A : Bibi? (dengan penekanan)
B : Memang bibi.
4.
Penutup
Berdasarkan analisis dialektika
bahasa daerah Rantau Suli ditemukan tiga indikasi perubahan fonetik yang dalam
linguistik disebut dengan assimilasi, kontraksi dan epentesis. Proses fonetik
ini membuat bahasa daerah Rantau Suli (umumnya Jangkat-Sungai Tenang) menjadi
bentuk bahasa sendiri yang memiliki ciri khusus didaerah merangin. Proses ini
pula yang mengakibatkan bahasa Rantau Suli dilafazkan dengan dialek berbeda
oleh masyarakatnya dengan dialek yang umum digunakan oleh masyarakat Merangin.
Secara umum perubahan bentuk kata yang terjadi
dalam kata-kata berbahasa Rantausuli merupakan perlaihan pengucapan kata-kata
berahasa Merangin. Kata-kata dasar yang menjadi acuan dari kata-kata yang
berubah pengucapannya itu merupakan transformasi dialektikal yang beranjak dari
modifikasi kata-kata berbahasa Melayu Jambi. Masih belum jelas apakah bahasa
Merangin yang berasal dari dialek ini atau justeru bahasa Rantausuli ini
merupakan adaptasi terhadap bahasa Merangin dimana (kemungkinan) bahasa daerah
tersebut bukanlah sperti yang kita kenali sekarang.
Sebagai pertimbangan terhadap
fenomena ini sebaiknya dilakukan penelitian historifikasi linguistic karena
saat sebuah data yang sangat berharga berkaitan dengan bahasa Melayu sudah
didapat yakni kitab Undang-Undang Tanjung yang menggunakan bahasa Melayu
tua. Kitab ini dapat dijadikan skrip
pendukung yang sangat kuat berkaitan dengan proses perkembangan bahasa-bahasa
orang Melayu dari dulu hingga saat ini. Semoga saja kajian sederhana ini
bermanfaat bagi dunia keilmuan.
Kepustakaan
Chaer, Abdul, Linguistik Umum, Rineka Cipta Jakarta,
2007
Nandra dan Reniwati, Dialektologi, Teori dan Metode, Elmatera
Publishing, Yogyakarta, 2009